Kisah The Sidji

Pada tahun 1918, pasangan suami-istri Hoo Tong Koey dan Tan Seng Nio—yang cukup terpandang dalam masyarakat Pekalongan saat itu—memulai pembangunan rumah ini [sekarang rumah tersebut menjadi lobi The Sidji]. Menurut kisah keluarga, sang istri Seng Nio merupakan penggerak di balik pembangunan rumah ini: mulai dari ide arsitektur hingga mengawasi penyelesaiannya.

Leluhur Tong Koey datang pada akhir tahun 1700-an dari kota Amoy (sekarang disebut Xiamen) di Provinsi Fujian, Cina Selatan. Tong Koey sendiri lahir di Pekalongan pada tahun 1885, menjadikannya generasi ke-4 Peranakan—istilah bagi keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia.

Pada masa itu, Pekalongan merupakan kota pelabuhan ramai dengan letaknya yang strategis pada jalur perdagangan Cina, India, Timur Tengah, dan kolonialis Eropa. Saat batik mulai naik pamor pada akhir tahun 1800-an, Pekalongan berada dalam posisi yang menguntungkan untuk terpapar pada beragam inovasi asing; mulai dari zat-zat pewarna batik sampai desain bergaya Belanda dari pembuat batik tersohor Eliza van Zuylen (1863-1947). Bahkan hingga kini, batik Pekalongan masih bisa dikenali lewat ciri khas perpaduan warnanya yang semarak.

Tak butuh waktu lama bagi Tong Koey dan Seng Nio untuk melihat peluang batik yang menjanjikan. Pasangan suami-istri ini pun merintis usaha zat pewarna batik sebelum melebarkan sayap untuk memproduksinya di belakang rumah. Terbukti, ini adalah keputusan bisnis yang jitu—karena usaha keluarga ini terus diwariskan ke generasi-generasi berikutnya. Di balik kesuksesan ini adalah sosok ulet Seng Nio—yang menjalankan roda operasi sambil mengurus 6 orang anak—yang kemudian juga membina keluarga masing-masing di kota ini.

Kesuksesan ini juga membuka peluang bagi Tong Koey yang flamboyan dan karismatik untuk menekuni minatnya akan musik tradisional. Ia membentuk kelompok gamelan yang sering berpentas di kalangan Peranakan elit. Atas peran aktifnya ini, Tong Koey diberi gelar ‘Lieutenant der Chinezen’ (Letnan Cina), pangkat ketiga tertinggi bagi Peranakan dalam hirarki kolonial Belanda.

Demikianlah kisah di balik rumah antik ini. Kisah yang dipenuhi dengan cinta kasih, kerja keras, dan upaya melestarikan warisan keluarga dari tiga generasi asli Peranakan di Pekalongan.

Kisah The Sidji

Pada tahun 1918, pasangan suami-istri Hoo Tong Koey dan Tan Seng Nio—yang cukup terpandang dalam masyarakat Pekalongan saat itu—memulai pembangunan rumah ini [sekarang rumah tersebut menjadi lobi The Sidji]. Menurut kisah keluarga, sang istri Seng Nio merupakan penggerak di balik pembangunan rumah ini: mulai dari ide arsitektur hingga mengawasi penyelesaiannya.

Leluhur Tong Koey datang pada akhir tahun 1700-an dari kota Amoy (sekarang disebut Xiamen) di Provinsi Fujian, Cina Selatan. Tong Koey sendiri lahir di Pekalongan pada tahun 1885, menjadikannya generasi ke-4 Peranakan—istilah bagi keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia.

Pada masa itu, Pekalongan merupakan kota pelabuhan ramai dengan letaknya yang strategis pada jalur perdagangan Cina, India, Timur Tengah, dan kolonialis Eropa. Saat batik mulai naik pamor pada akhir tahun 1800-an, Pekalongan berada dalam posisi yang menguntungkan untuk terpapar pada beragam inovasi asing; mulai dari zat-zat pewarna batik sampai desain bergaya Belanda dari pembuat batik tersohor Eliza van Zuylen (1863-1947). Bahkan hingga kini, batik Pekalongan masih bisa dikenali lewat ciri khas perpaduan warnanya yang semarak.

Tak butuh waktu lama bagi Tong Koey dan Seng Nio untuk melihat peluang batik yang menjanjikan. Pasangan suami-istri ini pun merintis usaha zat pewarna batik sebelum melebarkan sayap untuk memproduksinya di belakang rumah. Terbukti, ini adalah keputusan bisnis yang jitu—karena usaha keluarga ini terus diwariskan ke generasi-generasi berikutnya. Di balik kesuksesan ini adalah sosok ulet Seng Nio—yang menjalankan roda operasi sambil mengurus 6 orang anak—yang kemudian juga membina keluarga masing-masing di kota ini.

Kesuksesan ini juga membuka peluang bagi Tong Koey yang flamboyan dan karismatik untuk menekuni minatnya akan musik tradisional. Ia membentuk kelompok gamelan yang sering berpentas di kalangan Peranakan elit. Atas peran aktifnya ini, Tong Koey diberi gelar ‘Lieutenant der Chinezen’ (Letnan Cina), pangkat ketiga tertinggi bagi Peranakan dalam hirarki kolonial Belanda.

Demikianlah kisah di balik rumah antik ini. Kisah yang dipenuhi dengan cinta kasih, kerja keras, dan upaya melestarikan warisan keluarga dari tiga generasi asli Peranakan di Pekalongan.